Sunday, October 31, 2010

Nas tentang keharusan Solat Jamak tanpa musafir


Jamak Tanpa Musafir
Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata “Nabi SAW menjama’ Zhuhur dengan Ashar di Madinah ketika tidak sedang bepergian dan tidak pula dalam kondisi takut (khawatir)”. Ia (Sa’id) berkata “Wahai Abu Al Abbas mengapa Beliau melakukan itu?”. Ibnu Abbas menjawab “Beliau ingin agar tidak memberatkan seorangpun dari umatnya”.

Penjelasan hadits tersebut :Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengulas hadis ini mengatakan, “Majoriti ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada keperluan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir.
*******************************************
Menjamak Shalat Dibolehkan Walaupun Tidak Sedang Dalam Perjalanan telah ditetapkan berdasarkan hadis-hadis Shahih dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad. Berikut akan ditunjukkan hadis-hadis shahih dalam Musnad Ahmad yang penulis ambil dari Kitab Musnad Imam Ahmad Syarah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Penerjemah : Amir Hamzah Fachrudin, Hanif Yahya dan Widya Wahyudi, Cetakan pertama Agustus 2007, Penerbit : Pustaka Azzam Jakarta.

Yunus menceritakan kepada kami, Hammad yakni Ibnu Zaid menceritakan kepada kami dari Az Zubair yakni Ibnu Khirrit dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata “Ibnu Abbas menyampaikan ceramah kepada kami setelah shalat Ashar hingga terbenamnya matahari dan terbitnya bintang-bintang, sehingga orang-orang pun mulai berseru, “Shalat, Shalat”. Maka Ibnu Abbas pun marah, Ia berkata “Apakah kalian ingin mengajariku Sunnah? Aku telah menyaksikan Rasulullah SAW menjamak Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ “. Abdullah mengatakan “Aku merasa ada ganjalan (keberatan) pada diriku karena hal itu, lalu aku menemui Abu Hurairah, kemudian menanyakan tentang itu, ternyata Ia pun menyepakatinya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 2269, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir).

Hadis di atas dengan jelas menyatakan bahwa Menjamak Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ adalah Sunnah Rasulullah SAW , sebagaimana yang disaksikan oleh Ibnu Abbas RA. Dari hadis itu tersirat bahwa Ibnu Abbas RA akan menangguhkan melaksanakan Shalat Maghrib yaitu menjama’nya dengan shalat Isya’ dikarenakan beliau masih sibuk memberikan ceramah. Tindakan beliau ini adalah sejalan dengan Sunah Rasulullah SAW yang beliau saksikan sendiri bahwa Rasulullah SAW menjama’ Shalat Maghrib dengan Isya’ ketika tidak sedang dalam perjalanan.

Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata “Nabi SAW menjama’ Zhuhur dengan Ashar di Madinah ketika tidak sedang bepergian dan tidak pula dalam kondisi takut (khawatir)”. Ia(Sa’id) berkata “Wahai Abu Al Abbas mengapa Beliau melakukan itu?”. Ibnu Abbas menjawab “Beliau ingin agar tidak memberatkan seorangpun dari umatnya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 2557, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)

Kata-kata yang jelas dalam hadis di atas sudah cukup sebagai hujjah bahwa Menjama’ shalat dibolehkan saat tidak sedang bepergian. Hal ini sekali lagi telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri dengan tujuan agar tidak memberatkan Umatnya. Jadi mengapa harus memberatkan diri dengan prasangka-prasangka yang tidak karuan
Yahya menceritakan kepada kami dari Daud bin Qais, ia berkata Shalih maula At Taumah menceritakan kepadaku dari Ibnu Abbas, ia berkata “Rasulullah SAW pernah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan antara shalat Maghrib dengan shalat Isya’ tanpa disebabkan turunnya hujan atau musafir”. Orang-orang bertanya kepada Ibnu Abbas “Wahai Abu Abbas apa maksud Rasulullah SAW mengerjakan yang demikian”. Ibnu Abbas menjawab “Untuk memberikan kemudahan bagi umatnya SAW” (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3235, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Lantas apa yang akan dikatakan oleh mereka yang seenaknya berkata bahwa hal ini adalah bid’ah dan seenaknya menuduh orang yang Menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ sebagai Sesat. Begitulah akibatnya kalau membiarkan diri tenggelam dalam prasangka-prasangka.

Sufyan menceritakan kepada kami dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata “ Aku pernah shalat bersama Nabi SAW delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus”. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas “Mengapa Rasulullah SAW melakukannya?”. Beliau menjawab “Dia ingin tidak memberatkan umatnya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3265, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa kebolehan Menjama’ Shalat itu mencakup juga untuk shalat berjamaah. Hal ini seperti yang diungkapkan dengan jelas oleh Ibnu Abbas RA bahwa Beliau pernah melakukan shalat jama’ bersama Nabi SAW.
Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, Ibnu Bakar berkata Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, ia berkata Amr bin Dinar mengabarkan kepada kami bahwa Abu Asy Sya’tsa mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas mengabarkan kepadanya, Ia berkata “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah SAW delapan rakaat secara jamak dan tujuh rakaat secara jamak”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3467, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Begitulah dengan jelas hadis-hadis shahih telah menetapkan bolehnya Menjamak Shalat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ ketika tidak dalam perjalanan atau dalam uzur apapun. Hal ini adalah ketetapan dari Rasulullah SAW sendiri dengan tujuan memberikan kemudahan pada umatnya.
Bagi siapapun yang mau berpegang pada prasangka mereka atau pada doktrin Ulama mereka bahwa hal ini tidak dibenarkan maka kami katakan Rasulullah SAW lebih layak untuk dijadikan pegangan.
Wassalam
Salam Damai
$$$$$$@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@********%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
Jamak – Dr Asri
Tegas Berakidah, Luas Dalam Fekah
Disiarkan pada Jan 25, 2009 dalam kategori Akidah |
Selama hampir dua minggu saya mengembara dari London ke Osnabruck, kemudian ke Berlin dan seterus ke Republik Czeck. Di setiap tempat saya disambut dengan mesra dan meriah sekali oleh para pelajar Malaysia.
Walaupun kebanyakan mereka belum pernah bertemu saya, tetapi banyak pandangan saya; samada dalam bentuk ucapan atau tulisan, kebanyakan mereka telah pun menelaahnya. Alhamdulillah.
Itulah kebaikan dunia internet jika kita manfaatkan. Walaupun sebahagian mereka berada di luar negara sejak saya belum menjadi mufti, dan setelah saya berhenti pun mereke belum balik lagi, namun mereka tahu perkembangan Malaysia.

Dalam tempoh dua tahun saya menjadi mufti nampaknya pandangan-pandangan yang dilontarkan –alhamdulillah- telah diekspot dengan mewahnya ke sana. Setiap tempat yang saya sampai, saya memberikan ucapan dan membuat sessi soal jawab.

Dunia hari ini begitu pantas maklumatnya, di mana sahaja saya berhenti, akan ada rakyat Malaysia yang tahu dan menunggu saya di berbagai stesyen. Mereka menjemput saya ke berbagai program yang dianjurkan dan boleh dikatakan setiap warga Malaysia di kawasan berkenaan akan hadir. Alhamdulillah.

Memberikan ucapan kepada para pelajar yang terpilih dan bijak amatlah selesa dan senang. Mereka memiliki kecerdasan minda dan ketajaman untuk berhujah. Apabila mereka merasai pandangan yang kita lontarkan itu berteraskan alasan yang meyakinkan, dengan mudah mereka bersetuju. Atau jika mereka tidak bersetuju, mereka akan bersoal jawab dan mendatangkan alasan-alasan mereka.

Saya sering mengingatkan pembaca, demikian saya ingatkan mereka bahawa Islam sama sekali tidak dapat menerima pegangan agama yang dibuat atas ikut-ikutan tanpa memahami dalil atau alasan. Tiada takliq buta dalam Islam ini. Tiada dalam Islam senjata beracun yang pernah digunakan oleh sesetengah golongan yang memakai lebel agama iaitu ‘barang siapa yang banyak bertanya, maka lemahlah imannya’.
Jika manusia bijak seperti mereka yang mempelajari bidang-bidang yang sukar seperti perubatan tidak dibekalkan dengan kekuatan kefahaman yang berteraskan fakta dan dalil, siapa lagi yang hendak kita harapkan menjadi benteng Islam di zaman kini.

Dr Zakir Naik umpamanya, dia seorang saintis yang menyumbang kepada penyebaran Islam dengan hujah-hujah saintifik dan pemikiran yang tajam. Kebijaksanaannya telah digunakan untuk menyampaikan Islam. ‘Peace TV’ telah dijadikan saluran media membolehkan manusia memahami Islam yang canggih dan mengatasi zaman.

Lihatlah, ketika sesetengah mereka yang bergelar ‘ustaz’ menggambarkan Islam sebagai agama yang dipenuhi dengan unsur Israiliyyat, hadis palsu, jampi itu dan ini, cerita-cerita lucu kewalian, upah pahala sebagai bisnes dan berbagai pencemaran yang lain, golongan professional muslim yang mendapat disiplin ilmu perubatan, kejuteraan, pembinaan dan berbagai lagi tampil menjelaskan Islam yang sebenar. Islam yang mereka fahami dari sumber yang betul tanpa sebarang kepentingan kebendaan.

Ini mengingat kepada Nabi Sulaiman a.s apabila beliau mendengar ucapan semut betina. Firman Allah: (maksudnya)
“Hingga apabila mereka sampai ke “Waadin-Naml” (lembah semut), berkatalah seekor semut betina: “Wahai sekalian semut, masuklah ke sarang kamu masing-masing, jangan Sulaiman dan tenteranya memijak kamu, sedangkan mereka tidak menyedari. Maka tersenyumlah Sulaiman mendengar kata-kata semut itu, dan berkata (berdoa):” Wahai Tuhanku, ilhamkanlah daku supaya tetap bersyukur akan nikmatMu yang Engkau kurniakan kepadaku dan kepada ibu bapaku, dan supaya aku tetap mengerjakan amalan soleh yang Engkau redai; dan masukkanlah daku - dengan rahmatMu - dalam kumpulan hamba-hambaMu yang soleh”. (Surah al-Naml: 18-19)
Demikian, pengetahuan tentang alam membawa insan mendekatkan diri kepada Allah dan bersyukur kepadaNya.
Di sana, saya dalam banyak ucapan menceritakan kepada mereka tentang dua perkara yang penting. Pertama, kejelasan dan ketegasan Islam dalam perkara-perkara akidah. Kedua; keluasan dan kemudahan yang diperuntukkan oleh Islam dalam soal fekah.

Perkara ini perlu dijelaskan kerana dalam kalangan umat Islam, termasuk di Malaysia ada yang begitu longgar dalam akidah tapi begitu sempit dalam perkara fekah. Maka kita tidak hairan jika menemui di Malaysia mereka yang berserban atau berkopiah dan begitu takut untuk terkeluar dari mazhab fekah kebiasaannya, namun dalam masa yang sama dia masih percaya kuat kepada bomoh, atau gurunya dianggap ajaib, atau masih percaya tangkal itu dan ini.

Saya pernah melihat kumpulan yang berjubah dan berserban sakan, namun pergi memohon hajat di kubur Pulau Besar Melaka. Pengaruh tarekat yang berlebihan, atau kesufian yang melampau sering menjadikan sesetengah pihak gagal untuk membezakan antara batasan iman dan syirik.

Guru, atau bomoh sering diangkat melebihi kadar yang patut. Walaupun dalam masa yang sama, kita lihat mereka ini begitu menjaga sesetengah amalan fekah, sehingga kelihatan sempit dan beku. Maka tidak pelik di negara kita jika ada imam masjid yang masih kuat pegang dengan bomoh, atau terikut dengan tarikat yang bukan-bukan.

Sepatutnya, dalam isu akidah seseorang hendaklah sensitif dan selalu takut akan segala unsur syirik. Sementara dalam soal fekah, ada keluasan yang diberikan oleh syarak yang boleh kita amalkan, namun ramai orang masih takut dengannya.

Umpamanya, di sebelah Eropah ini, pada musim sejuk seperti sekarang, waktu siang agak singkat. Waktu solat mereka berkejaran dengan waktu kelas atau peperiksaan. Sebenarnya, dalam hal yang seperti ini, mereka boleh mengamalkan solat jamak, tanpa qasar. Sekalipun jika mereka menganggap diri mereka sudah tidak bermusafir, mereka tetap mempunyai peruntukan untuk menjamakkan solat tanpa qasar.

Jamak bermaksud menghimpun dua solat dalam satu waktu, samada pada waktu pertama, atau kedua. Ini bagi solat zohor dan asar, atau maghrib dan isyak. Maka boleh dihimpunkan solat zohor dalam waktu asar, atau sebaliknya. Demikian maghrib dan isyak. Adapun qasar, iaitu memendekkan solat empat kepada dua rakaat, maka ia dikhususkan untuk mereka yang bermusafir. Sementara jamak, boleh untuk dilakukan oleh mereka yang sakit, ketakutan, terlalu sibuk, hujan, terlalu sejuk, musafir dan segala kesusahan yang lain.

Dalam hadis Muslim, daripada Sa’id bin Jubair meriwayatkan daripada Ibn ‘Abbas, katanya: “Rasulullah s.a.w bersolat Zuhur dan ‘Asar secara jamak di Madinah tanpa sebab ketakutan atau musafir”. Kata Abu Zubair: “Aku bertanya Sa’id mengapa Rasulullah s.a.w berbuat demikian?”. Jawabnya: “Aku pun pernah bertanya Ibn ‘Abbas seperti mana engkau bertanyaku, jawab Ibn ‘Abbas: “Kerana baginda mahu agar umatnya tidak beban”.

Maka bagi yang kesuntukan masa, seperti pelajar, atau doktor bedah, atau ahli parlimen, atau polis yang bertugas menjaga lalu lintas, atau mereka menjaga jentera yang sukar untuk ditinggalkan, maka peruntukan jamak ada dalam hadis ini untuk mereka. Namun malangnya di Malaysia, ada yang sanggup meninggalkan solat apabila masuk hospital atas alasan sukar untuk solat.

Apa tidaknya, fekah yang diajar diajar begitu sukar kerana ditokok tambah berbagai hukum lain yang memayahkan. sehingga disuruh sesiapa yang sakit tidak mampu berwuduk sepenuhnya untuk wuduk separuh dan bertayamum sebakinya. Orang sihat pun hanya berwuduk, tiba-tiba yang sakit disuruh wuduk dan tayamum.

Para pelajar di sini mempunyai masalah kerana anjing begitu banyak. Ramai yang membawa anjingnya ke sana sini. Jalan menjadi kotor dengan najis anjing yang berselerakan. Berselisih dan bersentuh dengan anjing bukan perkara luar biasa. Demikian juga dengan daging babi yang amat digemari oleh ‘orang puteh’. Kefahaman fekah tempatan kita menjadikan sesetengah pelajar kita begitu gusar dalam masalah ini.

Saya telah memberikan beberapa jawaban untuk mereka menceritakan kepelbagaian pandangan sarjana Islam berhubung dengan nilai najis kedua haiwan berkenaan dan bagaimana kita dapat mengambil manfaat dari keluasan fekah Islam dalam hal-hal tersebut. Apa yang penting mereka perlu tegas dalam akidah dan ambil kemudahan fekah yang diberikan syarak.


&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Pedoman : Rukhsah Jamak Solat Yang Dipinggirkan

Oleh Maszlee Malik
Bila disebutkan tentang “jamak” solat pasti terbayang di kepala kita “qasar” yang merupakan duetnya dalam solat seorang yang bermusafir.
Inilah yang telah kita pelajari sedari kecil, iaitu jika kita bermusafir (yang bukan untuk tujuan maksiat) Allah S.W.T memberikan kelonggaran kepada kita untuk “qasar”, iaitu memendekkan solat yang empat rakaat kepada dua rakaat sahaja (solat Zohor, Asar dan Isyak) dan juga kelonggaran untuk “jamak”, iaitu menghimpunkan dua solat dalam satu masa untuk dikerjakan, contohnya, mengerjakan solat Zohor dan Asar diwaktu Zohor (jamak taqdim) ataupun di waktu Asar (jamak taakhir) dan juga waktu Maghrib dengan Isyak samada dikerjakan pada waktu Maghrib atauipun Isyak.
Tahukah kita perbuatan “jamak” (menghimpunkan dua solat di suatu waktu) bukan hanya khusus bagi mereka yang bermusafir sahaja ?, terdapat keadaan – keadaan lain juga kaum muslimin dibenarkan untuk men”jamak”kan solat mereka. Keadaan – keadaan tersebut ada disebutkan di dalam hadis – hadis sahih dan juga ijtihad para mujtahidin dalam memahami hadis – hadis yang berkaitan persoalan “jamak” solat. Yang menariknya, doktrin ini juga sebenarnya ada di dalam mazhab Syafie tetapi tidak ditekankan di dalam masyarakat kita sehingga ianya kelihatan ganjil dan mungkin ramai yang akan terkejut dengan pendedahan yang akan dilakukan. Untuk mengelakkan kekeliruan yang akan timbul, seperti biasa penulis akan membawakan rujukan – rujukan untuk dijadikan panduan untuk para pembaca.
Apakah keadaan – keadaan lain yang kita dibenarkan untuk melakukan “jamak” selain daripada keadaan bermusafir ?, ianya adalah seperti berikut :
1) Jamak kerana hujan.
2) Jamak kerana sakit.
3) Jamak kerana hajat dan kepayahan yang timbul.
Alangkah indahnya Islam yang kita anuti ini !, alangkah malangnya mereka yang jahil atau taksub dengan kejahilan mereka sehinggakan mereka tidak tahu kelonggaran yang Allah berikan dan menyangkakan solat adalah bebanan kepada umat Islam. Pada perenggan – perenggan berikutnya kita akan membicarakan secara terperinci keadaan – keadaan yang mengharuskan “jamak” dengan disertakan dalil – dalil yang menyokongnya.

Peringatan
Sebelum kita memulakan perbicaraan yang lebih lanjut mengenai keadaan – keadaan yang diharuskan umat Islam untuk melakukan jamak bagi solat mereka, ada beberapa perkara yang perlu dijadikan panduan.
1) Bagi penganut mazhab Hanafi mereka tidak menerima perbuatan “jamak” solat kecuali bagi para hujjaj (orang yang menunaikan haji) di Arafah dan Muzdalifah sahaja. Alasan mereka ialah, perbuatan “jamak” adalah bertentangan dengan firman Allah S.W.T di dalam surah al-Nisaa ( 4 : ayat 103), yang bermaksud : “Sesungguhnya solat adalah fardhu yang telah ditetapkan waktunya”. Bagi mereka sesiapa yang mengerjakan “jamak” selain sewaktu mereka berada dalam musim haji di Arafah dan Muzdalifah (hatta kepada orang yang bermusafir sekalipun) telah melakukan perkara yang bertentangan dengan ayat ini. Mana tidaknya jika seseorang itu men”jamak”kan di antara Maghrib dan Isyak di waktu Maghrib, bermakna dia telah menunaikan solat Isyak bukan pada waktunya.... Walaubagaimanapun dalam persoalan “Qasar”, mereka mewajibkannya ke atas orang – orang yang bermusafir. Makanya artikel ini tidak ditujukan kepada golongan yang taksub dengan mazhab Hanafi.
2) Bagi penganut mazhab Syiah pula, mereka boleh menlakukan jamak pada bila – bila masa tanpa ada keuzuran. Malah menurut mereka, sebenarnya waktu solat itu hanya ada tiga waktu sahaja. Subuh, Zohor dan Asar adalah pada sepanjang waktu siang selagi belum masuk waktu Maghrib dan juga solat Maghrib dan Isyak pada sepanjang waktu malam sebelum masuknya waktu Subuh. Hujah mereka adalah firman Allah S.W.T dalam surah al-Israa ( 17 : ayat 78) yang bermaksud : “Dan dirikanlah solat pada waktu pertengahan siang hari, pada penghujung malam dan juga pada waktu Quran Fajar (subuh)...”. Makanya jamak adalah satu kemestian bagi mereka dan boleh dilakukan tanpa ada sebab dan keadaan yang tertentu. Artikel ini juga tidak ditujukan kepada mereka dan amat besar sekali jurang perbezaan di antara apa yang akan diperbincangkan dalam artikel ini dan apa yang diimani oleh golongan Syiah.
3) Bagi mereka yang taksub dengan ajaran – ajaran pondok yang lebih merupakan ijtihad – ijtihad peribadi tok guru – tok guru pondok mereka dan enggan menerima khilaf dan pandangan orang lain juga bukanlah sasaran artikel ini. Ini kerana golongan yang ekstrim dengan sesuatu pendapat yang hanya merupakan ijtihad tetapi mereka jadikan sebagai rukun keimanan dan keislaman mereka segala perbincangan ilmiah dan perbahasan fiqh tiada ertinya selagimana ianya tidak dimuntahkan dari mulut tok – tok guru pondok ataupun ustaz – ustaz mereka. Jika ada di antara golongan ini yang terbaca artikel ini, diharapkan dapat mengambil salah satu daripada dua langkah, yang pertama, membukakan pemikiran mereka, perbincangkan apa yang telah dibaca dengan ustaz – ustaz yang berfikiran terbuka, dan letakkan di dalam pemikiran, kebenaran adalah terletak pada dalil yang kuat dan bukannya pada individu – individu tertentu. Langkah yang kedua pula, jika mereka tidak boleh membukakan pemikiran mereka, jangan meneruskan pembacaan terhadap artikel ini, tutuplah muka surat ini dan beralih ke muka surat selanjutnya, ditakuti jika mereka membaca, mereka tidak faham dan akan menimbulkan fitnah terhadap umat Islam di Malaysia dan juga majalah ini kerana kejahilan, ketaksuban dan kesempitan pemikiran mereka.
Oleh yang demikian, artikel ini ditujukan bagi pencari kebenaran, mereka yang berpemikiran terbuka, pecinta – pecinta sunnah, golongan yang mahu bertanya, golongan yang mahu berfikir dan juga bagi mereka – mereka yang ingin beramal dengan Islam di dalam segenap sudut kehidupan mereka.
Jamak kerana “Hujan”
Mazhab Syafii merupakan mazhab yang paling kuat berpegang dengan pendapat ini. Bagaimanakah caranya melakukan solat “jamak” kerana hujan ?, ia mempunyai syarat – syaratnya dan caranya yang unik seperti berikut :
1) Solat jamak kerana hujan hanya boleh dilakukan oleh jamaah yang bersolat di masjid sahaja. Bagi mereka yang bersolat di rumah ianya tidak dibenarkan.
2) Waktu yang dibenarkan untuk di”jamak”kan solat ialah pada waktu Zohor yang di”jamak”kan dengan waktu Asar, ataupun solat Maghrib yang di”jamak”kan dengan solat Isyak pada waktu Maghrib. Maknanya tiada “jamak taakhir” dalam kes “jamak” kerana hujan.
3) Hujan yang turun samada di waktu Zohor atau Maghrib itu tidak berhenti sehingga jamaah selesai menunaikan solat Zohor ataupun Maghrib.
4) Hujan yang menyebabkan solat boleh di”jamak”kan ialah hujan yang membasahkan baju dan bukannya hujan renyai – renyai.
5) Ada juga di kalangan ulama Syafiiyah yang meletakkan syarat tambahan, iaitu jamak kerana hujan ini hanya boleh dilakukan oleh mereka yang tinggal jauh dari masjid sahaja, dan barangsiapa yang tinggal dekat dari masjid mereka tidak dibenarkan melakukan jamak. (Pendapat ini disanggah oleh Imam Nawawi dari mazhab Syafii sendiri kerana menurutnya pendapat tersebut tiada asas yang kukuh dan tiada sandaran dalil yang kuat)
(Lihat : al-Syarbini al-Khatib (t.t), Mughni al-Muhtaj, Beirut : Dar Ihya al-Turath al-Arabi, jil : 1, hal : 275; al- Nawawi (1994M), Raudat al-Talibin, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, jil : 1, hal. 503, al-Hisni al-Syafii (1994M), Kifayat al-Akhyar, tahqiq: A Hamid Ba Haji, Beirut : Dar al-Khayr, hal. 140)
Sandaran bagi pendapat mereka ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang bermaksud : “Rasulullah S.A.W telah melakukan jamak solat antara zohor dan asar, dan antara maghrib dan isyak di (Hadis riwayat al-Jamaah (semua ulama hadis yang terkemuka) kecuali al-Bukhari dan Ibnu Majah).
Dalam riwayat Muslim dan al-Tarmizi disebutkan tambahan : “Rasulullah S.A.W telah melakukan jamak solat antara zohor dan asar, dan antara maghrib dan isyak di Madinah tidak kerana ketakutan dan tidak kerana hujan. Ibnu Abbas ditanya: Apa yang dikehendaki dengan yang demikian itu (mengapa Rasulullah melakukannya)? Dia berkata: baginda mahu memberi kelapangan (mudah) kepada umatnya”.
Hadis inilah yang menjadi punca perselisihan ulamak mengenai jamak sembahyang ketika tidak bermusafir. Para ulama telah memberikan komentar yang pelbagai terhadap hadis ini. Ia dapat kita lihat di dalam kitab – kitab seperti Subulus Salam, al-Majmu’, al-Mughni, Nailul Authar dan yang seumpamanya.
Bagi Imam Syafii dan juga ulama – ulama yang mengikuti ijtihadnya, hadis ini secara mafhum (fahaman tersirat) menunjukkan harus jamak kerana hujan kerana Ibn Abbas menyebutkan Rasulullah S.A.W menjamakkan solat bukan kerana hujan dan takut, maknanya jika ada hujan, solat boleh dijamakkan.
Antara ulama lain yang bersependapat dengan al-Syafii dan pengikutnya adalah Imam Ahmad yang berpendapat lebih luas dengan mengharuskan jamak pada waktu salji, angin ribut, jalan berbecak dan juga kesejukan yang luar dari kebiasaan. Imam Malik juga bersependapat dengan Imam Syafii yang mengharuskan jamak kerana hujan sahaja dan tidak dikiaskan kepada yang lain. Imam Abu Hanifah pula seperti yang telah diperkatakan sebelum ini tidak melihat keharusan melakukan jamak solat kecuali di Arafat dan Muzdalifah di musim haji sahaja. Sebahagian daripada ulama mutakhir Syafiiyah seperti al-Nawawi dan lain – lain dan juga ulama mutakhirin dari mazhab Malikiyyah bersetuju dengan pendapat Ahmad dengan meluaskan sebab yang mengharuskan jamak solat. (Lihat : Ibn Rushd (1994M), Bidayat al-Mujtahid, tahqiq : Abdullah Labadi, Damsyiq : Dar al-Qalam, jil. 1, hal. 398)
Dalam kes meluaskan skop sebab – sebab yang mengharuskan jamak ini seperti salji, angin yang kuat, sejuk dan keadaan jalan yang berlumpur dan berbecak, Imam al-Nawawi telah memberikan komentarnya dengan mengatakan : “Ini adalah yang pendapat yang terpilih”, al-Khattabi, salah seorang dari ulama dari mazhab Syafii pula dalam menyatakan sokongannya terhadap pendapat tersebut telah berkata : “Inilah yang lebih layak dengan keindahan syariat Islam”. (al-Nawawi, ibid)
Sunnah ini jika dilihat amat praktikal sekali bagi mereka yang tinggal di luar negara (negara bukan Islam) yang mana sesebuah masjid adalah sgak berjuhan dari tempat kediaman seseorang individu muslim. Mereka pastinya akan berhadapan dengan kesulitan untuk berulang alik ke masjid di waktu salji, angin yang kuat dan juga hujan.
Ianya juga tiada halangan untuk diamalkan di Malaysia, memandangkan illat (sebab) yang membawa kepada harusnya perbuatan “jamak” kerana hujan adalah hujan dan bukannya kepayahan ataupun kesulitan seperti yang disangkakan oleh sesetengah pihak. Persoalannya ke manakah perginya sunnah “jamak” kerana hujan ini di Malaysia yang umat Islamnya secara ijmak mengaku bermazhab Syafii ?. Jika umat Islam di Jordan dan beberapa negara Arab lain boleh terus menghidupkan sunnah ini mengapa di Malaysia ianya tidak berlaku ?, mungkin persoalan ini boleh dijawab oleh mufti – mufti kita yang menjadi tempat rujukan umat Islam di Malaysia. Selayaknyalah sekarang ini kita menghidupkan kembali sunnah yang telah pupus di Malaysia ini.
Jamak kerana sakit
Imam Ahmad telah berpendapat harusnya menjamakkan solat kerana sakit di atas alasan bahawa sakit yang berat itu adalah lebih payah bagi seorang muslim untuk menunaikan solat berbanding dengan hujan. Maka di dalam kes ini, Imam Ahmad mengharuskan bagi seseorang yang sakit tenat dan berat untuk menjamakkan solat mereka supaya mereka tidak dibebani dengan menanti – nantikan waktu solat dan supaya mereka dapat berehat menunggu kesembuhan sakitnya. Di dalam kitab mazhab Hanbali yang bertajuk al-Raudhul Murbi', penulisnya ada mengatakan :
“Dan diharuskan jamak antara yang tersebut itu kerana sakit yang akan ditimpa kesusahan jika ia meninggalkan jamak. Kerana Nabi s.a.w. pernah melakukan jamak ketika tidakdalam keadaan ketakutan dan tidak ketika hujan Dan di dalam satu riwayat lain "tidak dalam keadaan ketakutan dan tidak dalam permusafiran". Ia diriwayatkan oelh Muslim dari Hadis Ibnu Abbas, tidak berkeuzuran selepas yang demikian itu kecuali sakit.” (Ibn Muflih, Al-Raudhul Murbi' : hal. 111)
Pendapatnya ini telah disokong oleh sesetengah ulama mazhab Syafii seperti al-Muzani, Imam al-Nawawi, Qadhi Hussin, al-Mutawalli, al-Rawayani, al-Khattabi dan lain – lain. al-Nawawi pula telah mengatakan : “Pendapat ini amat kuat!” (Lihat : al-Nawawi, ibid; al-Hisni, ibid; al-Sya’rani, opcit, jil. 1, hal. 236)
Subhanallah! Alangkah indahnya Islam, dan alangkahnya mudahnya Islam jika ianya benar – benar difahami oleh kaum muslimin. Sunnah ini jika diamalkan akan dapat menggalakkan umat Islam terus menjaga solat mereka walaupun mereka dalam keadaan uzur, di atas katil hospital ataupun dalam keadaan yang kritikal dan memerlukan banyak rehat. Sunnah ini juga pastinya akan menjawab alasan mereka – mereka yang malas menunaikan solat ataupun mereka yang melihat ibadat di dalam Islam hanyalah merupakan bebanan semata – mata.
Jamak Kerana Hajat
Dalam kehidupan muslim kadang – kadang mereka berhadapan dengan keadaan yang memaksa mereka untuk tidak dapat menunaikan solat pada waktunya. Seorang doktor yang terpaksa melakukan pembedahan selama berjam – jam, yang mana jika beliau meninggalkan walaupun sebentar akan memudaratkan pesakit. Seseorang yang terperangkap di dalam kesesakan jalanraya yang menyebabkan dia terpaksa berada di dalam keretanya berjam – jam lamanya dan tidak berupaya untuk melarikan diri dari kesesakan tersebut. Seseorang pelajar di luar negara yang menghadapi peperiksaan, menghadiri kelas yang terpaksa mengambil waktu solat isyak yang singkat, waktu zohor dan seumpamanya. Seorang saintis yang melakukan obsevasi dan kajian di dalam makmalnya yang memaksa mereka untuk berada di dalam makmalnya seharian suntuk. Seseorang yang berada di dalam penjara, lokap ataupun tahanan yang membuatkannya tidak dapat mengagak waktu – waktu solat secara terperinci. Pegawai – pegawai keselamatan yang terpaksa berkawal, menjaga dan mengawasi sesutau tempat, keadaan, jalan dan apa – apa sahaja yang tidak membenarkan mereka meninggalkan kawasan tersebut kerana kritikalnya suasana pada ketika itu. Bagaimanakah mereka dapat menunaikan solat – solat mereka pada waktunya ?
Dalam pengamalan muslim di Malaysia ada dua alternatif : yang pertama, tidak perlu menunaikan solat dan keadaan – keadaan yang berlaku merupakan hujah dan lesen terbesar mereka untuk meninggalkan solat. Persoalannya adakah mereka sanggup untuk berhadapan dengan Allah di padang Mahsyar nanti dengan alasan tersebut ?
Yang kedua, ramai muslim di Malaysia akan memilih untuk meng”qada”kan solat mereka yang ditinggalkan. Alasan mereka , oleh kerana ianya tidak dapat dilakukan pada waktunya, maka ianya perlu digantikan pada waktu yang lain. Doktrin “qada” ini kadang – kadang menjadi alat untuk ramai muslim meninggalkan solat mereka tanpa sebab yang kukuh. Insya Allah dalam keluaran – keluaran akan datang penulis akan cuba mengupas persoalan “penyalah gunaan” doktrin “qada” di kalangan masyarakat muslim di Malaysia.
Sebenarnya ada alternatif yang lebih syar’i dan lebih diperakui oleh ramai ulama dan sunnah sendiri tanpa meninggalkan solat dan tanpa melakukan “qada”. Bagaimana ?, iaitu dengan men”jamak”kan antara dua solat dalam satu waktu kerana hajat yang bersangatan dan tidak dapat dielakkan. Adakah boleh jamak untuk perkara yang sedemikian ? di sini kita akan menjawab pertanyaan ini.
Segelintir daripada ulama di dalam mazhab al-Syafii seperti Abu Ishaq al-Marozi, al-Qaffal dan al-Khattabi (lihat : al-Hisni, opcit, hal. 141), ulama mutakhirin dari mazhab Ahmad, Asyhab dari mazhab Maliki, Ibn. Munzir pengarang buku al-Ijma, golongan ahli Zahir , mazhab ahli Hadis dan juga Ibn Sirin berpendapat harus melakukan “jamak” kerana hajat yang benar – benar mendesak (Lihat : Ibn Rusyd, opcit., jil. 1, hal. 398; al-Sya’rani, opcit, jil. 1, hal. 236).
Mereka berhujah dengan hadis Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Muslim yang mengatakan Rasulullah S.A.W telah melakukan “jamak” di antara Maghrib dan Isyak dan juga antara Zohor dan Asar bukan kerana hujan ataupun kerana bermusafiran seperti berikut :
Ibnu Abbas r.a. berkata: Bahawasanya Nabi s.a.w. pernah menjamakkan antara zohor dan asar, dan antara maghrib dan isyak di Madinah tidak kerana musafir dan tidak kerana hujan. Ibnu Abbas ditanya: Apa yang dikehendaki dengan yang demikian itu (mengapa Rasulullah melakukannya)? Dia berkata: baginda mahu memberi kelapangan (mudah) kepada umatnya. (Hadis Riwayat Muslim).
Hadis tersebut diperkuatkan pula dengan hadis riwayat Ibn Syaqiq :
Abdullah bin Syaqiq berkata: Pada suatu hari Ibnu Abbas berpidato kepada kami di Basrah selepas Asar sehingga terbenam matahari dan terbit bintang-bintang. Ini menyebabkan manusia yang hadir berkata: Solat, solat. katanya lagi: Lalu datang seorang lelaki dari Bani Tamim memperingatkan: Solat, solat. Lalu Ibnu Abbas berkata: Apakah engkau mengajar kepadaku sunnah? Sungguh tidak berguna kamu! . Kemudian berkata : Aku melihat Rasulullah s.a.w. menjamakkan sembahyang antara zohor dan Asar, Maghrib dan Isyak.
Abdullah bin Syaqiq berkata: Penjelasan Ibnu Abbas itu tidak memuaskan hatiku. Kemudian aku pergi kepada Abu Hurairah, dan bertanyakan hal tersebut, maka dia membenarkan perkataan Ibnu Abbas. (Hadis Riwayat Muslim)
Riwayat di atas menjelaskan bahawa Ibnu Abbas menjamakkan sembahyang dalam keadaan bukan kerana bermusafir, bukan kerana ketakutan dan juga bukan kerana hujan. Di dalam kes ini dia telah men”jamak”kan solatnya ketika berada dalam urusan penting, iaitui pidatonya itu. Dia mengetahui jika pidatonya itu dihentikan maka akan hilanglah kemaslahatannya. Menurut perkiraannya meneruskan pidatonya dianggap suatu hajat yang membolehkan jamak. (Lihat : Prof. T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis Hukum, Bandung : Penerbitan Bulan Bintang, jil. 4, hal. 350)
Walaubagaimanapun keharusan untuk melakukan “jamak” kerana hajat ini tidaklah dibenarkan secara mutlak. Para ulama yang membenarkan perlakuan tersebut telah memberikan syarat – syarat tertentu seperti berikut :
1- Ianya tidak dijadikan kebiasaan atau adat sehingga ianya dilakukan dalam banyak keadaan tanpa ada sebab yang benar – benar mendesak.
2- Hajat tersebut hendaklah benar – benar mendesak dan tidak boleh dielakkan, jikalau ianya (hajat) ditinggalkan maka ianya akan membawa kepada hilangnya maslahat yang lebih besar.
3- Ianya tidak dijadikan alat untuk mempermain – mainkan agama dan alat untuk mereka yang malas mengerjakan solat untuk mengambil mudah di atas urusan agama.
Pendapat ini walaubagaimanapun telah dikritik di dalam buku Subulus Salam karangan al-San’ani di mana beliau telah menyebutkan hujah sebahagian ulama yang menolak perbuatan “jamak” kerana hajat, dengan mengatakan bahawa jamak yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. di dalam hadis Ibn. Abbas adalah jamak shuri, iaitu yang pada zahir kelihatan seperti jamak, tetapi pada hakikatnya bukan. (Juga lihat : Ibnu Hajar al-Asqalani , Fathul Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Beirut : Darul Fikr, jil. 2, hal. 580)
Contoh: Mengerjakan sembahyang zohor pada akhir waktu, dan apabila selesai masuklah waktu Asar, kemudian bangkit mengerjakan sembahyang Asar pada awal waktu. Ianya kelihatan seolah – olah perbuatan jamak di antara Zohor dan Asar.
Hujah ini dijawab oleh golongan yang mengharuskan “jamak” kerana hajat sebagaimana yang dinukilkan oleh Syeikh Mahmud Syaltut & Mohd Ali al-Syayis di dalam buku mereka Muqaranatul Mazahib Fil Feqhi dengan mengatakan bahawa andaian tersebut terlalu jauh dan ianya merupakan sesuatu yang sukar dilakukan dan juga suatu kepayahan (untuk menentukan akhir waktu Zohor dan awal waktu Asar).Logiknya, menjamakkan solat adalah suatu kelonggaran, tetapi jika kita berusaha untuk mencari waktu terakhir Zohor dan awal Asar, itu tidak akan menjadi kelonggaran lagi, bahkan ia menjadi sesuatu bebanan.
Rukhsoh perbuatan menjamakkan solat kerana hajat ini semakin dapat diterima oleh kebanyakan ulama dari pelbagai mazhab yang bersifat terbuka dan kritikal semenjak zaman dahulu dan dewasa ini.Berikut adalah komentar daripada sebahagian para ulama muktabar yang mempunyai sikap terbuka terhadap perbuatan “jamak” kerana hajat :
1. Imam al-Nawawi telah berkata :
“Segolongan ulamak besar membenarkan jamak di dalam keadaan tidak musafir, kerana ada keperluan, asalkan tidak dijadikan adat yang tetap. Demikianlah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari ashab malik. Diriwayatkan juga oleh al-Khathabi dari al-Qaffal al-Kabir dari kalangan pengikut al-Syafi'i”. (Lihat : al-Nawawi , al-Majmu’, jil. 4, hal. 264.)
2. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah:
"Dan Mazhab yang paling memberi keluasan dalam masalah jamak ialah mazhab imam Ahmad . Maka sesungguhnya beliau menashkan bahawa dibolehkan melakukan jamak kerana kesempitan/susah dan kesibukan." (Lihat : Abu Ubaidah Masyhur Bin Hasan Bin Mahmud , al-Qaul al-Mubin Fi Akhta'il Mushollin, Beirut : al-Maktabah al-Islamiyyah, hal.423)
3. Syeikh Abdul Wahab al-Sya'rani menyebutkan:
"Dan Dari Ibnu Sirin, bahawasanya harus menjamakkan sembahyang bukan kerana takut dan bukan kerana sakit, selama ia tidak dijadikan sebagai adat. Dan telah memilih oleh Ibnu al-Munzir dan satu jamaah (sekumpulan ulamak) akan harus menjamak ketika hadar (tidak bermusafir), tidak dalam keadaan takut dan tidak hujan." (al-Sya'rani, opcit, jil. 1, hal. 199)
4. Syeikh Athiyah Saqr :
"..Maka sekumpulan ulamak dari kalangan para imam telah bertindak mengambil zahir hadis Ibnu Abbas. Maka mereka mengharuskan mengerjakan jamak ketika hadar, iaitu tidak dalam musafir, hanya kerana hajat semata-mata. Tetapi dengan syarat ia tidak dijadikan sebagai adat. Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari mengatakan: Dan orang-orang yang berpendapat demikian ialah Ibnu Sirin, Rabi'ah, Ibnul Munzir dan al-Qaffal al-Kabir. Dan telah menghikayatkanya oleh al-Khitabi dari satu jamaah dari kalangan ahli Hadis. Hujah mereka(mengharuskan perbuatan jamak kerana hajat itu) ialah untuk menafikan kepayahan selama di sana terdapat suatu hajat/keperluan, antaranya ialah seperti kesibukan Ibnu Abbas terhadap pidato/khutbahnya." ( Syeikh Athiyah Saqr, Ahsanul Kalam Fil Fatawa Wal Ahkam , Kaherah : Dar al-Ghad al-Gharbi, jil. 13, hal. 424-425)
Kesimpulannya, Islam merupakan agama yang indah dan mudah. Ini selaras dengan misi Islam sebagai rahmat kepada sekelian alam. Segala urusan di dalam agama Islam adalah mudah, fleksibel dan juga tidak membebankan umatnya kecuali bagi mereka yang malas dan enggan menurut perintah Allah sahaja. Sayangnya kemudahan dan juga keringanan yang Allah berikan ini tidak akan dapat dilihat jika kita bersifat jahil dan tidak mahu mengambil tahu. Ianya juga akan menjadi lebih kabur jika ditutupi dengan mentaliti taksub kepada sesutau pandangan sahaja dan tidak berlapang dada di dalam menerima perbezaan. Contoh yang nyata sekali di sini ialah dalam persoalan “jamak” solat seperti yang telah kita perbincangkan secara panjang lebar di sini. Diharapkan agar pihak pembaca dapat menghayati artikel ini dan juga dapat bersama – sama mengamalkan rukhsah jamak solat yang dipinggirkan dari kehidupan seharian kita di Malaysia ini. Wallahua’lam
&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&



The moderate nature of Islam

By DR WAN AZHAR WAN AHMAD
Senior Fellow/Director, Centre for Syariah, Law & Political Science, IKIM


One of the most important features of the syariah is that it is convenient. This has been repeatedly mentioned by the Quran as well as the prophetic tradition.
THE fact that Islam is easy and simple does not mean that it is a simplistic or an immature religion at all.
Firstly, its theological principles are receptive of reason, sensible and comprehensible even to the minds of common people.
Secondly, in the legal sphere, Islam comprises two closely interrelated qualities: strict adherence (azimah) and concession (rukhsah).
While the former reflects religion in reality, the latter provides some flexibilities of how those realities may be exercised under special circumstances. Under normal circumstances, Muslims are required to observe the general provisions of Islamic laws (syariah) according to their abilities. But when a situation becomes untenable, the Muslims are allowed certain exceptions by the lawgiver.
When discerning Muslims advocate other Muslims to undertake these exceptions, both the advocators as well as the receivers are not to be regarded as taking religious matters lightly as such an exercise is still within the parameters of the syariah.
Note that one of the most important features of the syariah is that it is convenient. This has been repeatedly mentioned by the Quran as well as the prophetic tradition in various sources, and is agreed upon by many jurists from the early days of Islam until now. In addition, the overriding objective of Islamic law is the preservation of human interest, their welfare and wellbeing (masalih). This is possible either by means of removing evil or by acquiring goodness or benefit for man. This can generally be further translated as the protection of religion, life, reason, progeny and property.
The syariah sanctions that if the manifestation of this greater objective is threatened, such as during emergency or if one is in dire need, Muslims may diverse from the specific rulings of the law. There are Quranic and prophetic injunctions to this effect, again consolidated by Muslim jurists throughout Islamic history via various other principles and opinions.
It is the combination of the aforementioned principles of convenience and preservation of human interest that makes Islam practical, progressive, dynamic, able to be relevant to changing social conditions and needs regardless of people, geographic topography and periodisation. Problems seem to emerge when certain parties, some claiming superiority over others, attempt to deny these overwhelming principles and objectives.
They are either extremely rigid, or interpret the divinely inspired injunctions literally, or choose to ignore certain authorities from authentic Islamic sources. Consequently, they corrupt Islam and make life difficult for Muslims. In the process, they create the impression that Islamic law is rigid, static, not progressive, not dynamic, incapable of developing in tandem with social needs and changing conditions in a given society. The reality is, however, quite the converse.
Ponder for example this situation. Imam Nawawi in his commentary of Sahih Muslim says that a number of Shafi’i scholars like Ibn Sirin, al-Qaffal, al-Shashi al-Kabir and Ibn Munzir allow for prayers to be combined (jamak) for those not travelling, provided there is a reasonable need, and as long as it does not become a habit. The proof lies in the fact that the Prophet himself combined his prayer on a number of occasions when such need arose.
This was supported by Ibn Abbas r.a., one of the well known companions of the Prophet, in response to a question posed to him concerning why the Prophet did so. The answer was intended not to burden the Muslim community.
That notwithstanding, there was no further explanation offered whether it was due to certain illness or any other reasons.
On another occasion, Ibn Abbas himself once gave a lecture to a number of people after asar prayer, which lasted until the time for maghrib. When the time for maghrib arrived, the audience began reminding each other that the time for prayer was upon them.
One of them stood up and began incessantly reminding the rest that the time for prayer had arrived. This annoyed Ibn Abbas so much to the extent that he shouted to the man, “Are you teaching me the Sunnah of the Prophet?” saying that he had seen the Prophet perform combined prayer for no apparent reason.
This matter was later referred to Abu Hurairah, another of the Prophet’s companions, and he affirmed the truth of Ibn Abbas’s statement.
The above exemplifies that it is permissible for Muslims to combine their prayers even if one is not travelling, is not sick, and the whether is calm. As long as the need arises, one may do so.
In our time, the possibility of extending the permission for combining one’s prayer to other new situations warrants consideration. These include surgeons performing long surgeries, one attending a meeting of grave importance, and so on according to reasonable circumspection.
In the above circumstances, those Muslims involved are confronted by two choices: to miss their prayer altogether, or to opt for a way which allows them to combine their prayer.
Of the two, reasonable Muslims who are concerned about their prayer would choose the latter. I personally feel that in such a situation, combined prayer is to be given preference over the replacement of prayer (qadha’).
This opinion should not be perceived as trying to confuse the public. Compared to other fields of knowledge like theology, Sufism or philosophy, the legal domain is relatively straightforward in nature and significantly contributes to the facilitation of human life.
While acknowledging the fact that there are certain levels of knowledge that are not meant for laymen to understand, Islam is not a religion whereby the domain of knowledge and truth is exclusive to the clerics.
If one indulges in a certain discipline of learning, one may pursue it from the lowest to the highest levels. If one is not able to comprehend and discern between one level and another, then one must know one’s limits and be just to knowledge and to himself.


Solat Jamak menurut Al-Quran dan Sunnah Nabi
____________________________________________________________________

Sembahyang tetap 5 kali sehari semalam. Cuma waktunya sahaja yang ditakrifkan sebagai waktu bersama (jamak) - Subuh, Zohor bersama Asar, dan Maghrib bersama Isyak. Ini telah difirmankan dalam Al-Quran dan diterangkan dalam sunah Nabi. Dan, sememangnya yang lebih afdal adalah 5 kali dalam lima waktu.

Berikut adalah petikan ayat suci Al-Quran dan Hadis Nabi yang menerangkan lebih lanjut sekitar perkara ini:

1.      Surah al-Israk ayat 78:
 
"Dirikanlah solat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula) solat subuh. Sesungguhnya solat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)".

a.      Sesudah matahari tergelincir: Waktu bersama (jamak) Zuhur dan Asar.
b.      Gelap malam: Waktu bersama (jamak) Maghrib dan Isyak.
c.       Solat Subuh.

(Inilah konsep 3 waktu tapi 5 kali sehari semalam- namun afdalnya dipisahkan seperti yang dilaksanakan sekarang).

2.      Surah al-Israk ayat 79:

"Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagi kamu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji"

Sebahagian malam hari: Sesudah waktu bersama (jamak) Maghrib dan Isyak habis (Sesudah lebih kurang 12.30  t/malam)- Inilah waktu solat tahajjud yang sebenarnya.

Ayat al-Quran berikut ini lebih mengkhususkan lagi:

3.      Surah Hud ayat 114:

"Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam".

Kedua tepi siang (pagi dan petang): Mengisyaratkan waktu solat subuh (pagi) dan waktu solat Zuhur bersama Asar (petang).

Bahagian permulaan daripada malam: Mengisyaratkan waktu bersama antara Maghrib dan Isyak. Digunakan istilah bahagian permulaan daripada malam sebab bahagian akhir daripada malam adalah untuk solat tahajjud. (Lihat Surah al-Israk ayat 79).

Sehubungan itu, dikemukakan sebahagian kecil daripada hadis-hadis tentang solat jamak. Dalam kitab hadis Shahih Bukhari (diterjemah H. Zainuddin Hamidy - H.Fachruddin Hs, H. Hasharuddin Thaha - Johar Arifin, A. Rahman Zainuddin M.A; cetakan 2003 oleh Darel Fajr Publishing House, No. 37, Geylang Street, Singapore):
·           hadis no. 306 Berita dari Ibnu Abbas ra. mengatakan, bahawa Nabi saw salat di Madinah tujuh dan lapan rakaat. Yaitu salat zohor dan asar (dikerjakan berturut-turut pada waktu yang sama tujuh rakaat).
·           hadis no 310 kata Abu Umammah ra. "Kami solat zohor bersama Umar bin Abdul Aziz, setelah itu kami pergi menemui Anas bin Malik dan kami dapati dia sedang salat asar. kataku kepadanya 'Hai pakcik! salat apakah yang pakcik kerjakan ini?' jawabnya, 'Salat Asar! dan inilah (waktunya) salat asar Rasulullah saw, dimana kami pernah salat bersama-sama dengan beliau'.

......dan dalam kitab Sahih Muslim (diterjemah Ma'Mur Daud ditashih Syekh H. Abd. Syukur Rahimy; cetakan 2003 oleh Darel Fajr Publishing House, No. 37, Geylang Street, Singapore):
·           hadis no. 666 Dari Ibnu' Abbas r.a., katanya: "Rasulullah saw pernah (baca: telah) menjama' salat Zuhur dan Asar, Maghrib dan Isyak tidak ketika takut dan tidak pula dalam perjalanan (baca: musafir)".
·           hadis no. 667. dari Ibnu Abbas ra. katanya: "Rasulullah saw pernah menjama’ salat suhur dan asar di Madinah tidak pada waktu takut (perang atau dalam keadaan bahaya) dan tidak pula dalam perjalanan. Kata Abu Zubair, dia menanyakan hal itu kepada Sa'id, "Kenapa Rasulullah saw sampai berbuat demikian?' Jawab Sa'id, "Aku pun pernah bertanya seperti itu kepada Ibnu Abbas, maka jawab Ibnu Abbas: 'Beliau ingin untuk tidak menyulitkan umatnya'
·           hadis no. 670 dari Ibnu Abbas ra. katanya: 'Ketika Rasulullah berada di Madinah, beliau pernah menjamak solat zohor dengan asar, dan salat maghrib dengan Isya’, tidak pada saat perang dan tidak pula ketika hujan. Waki' bertanya kepada Ibnu Abbas, 'Apa sebabnya Nabi saw berbuat demikian?' Jawab Ibnu Abbas, "Supaya tidak menyulitkan umatnya".... .
·           hadis no. 671 dari Abdullah bin Syaqiq ra. katanya: 'Pada satu hari sesudah asar, Ibnu Abbas memberikan pengajian dihadapan kami hingga terbenam matahari dan bintang-bintang sudah terbit. lalu jemaah berteriak, "salat! salat!" bahkan seorang laki-laki Bani Tamim langsung berdiri ke hadapan Ibnu Abbas, lalu ia berkata "salat! salat!" Kata Ibnu Abbas, "Apakah engkau hendak mengajariku tentang Sunnah Nabi, yang engkau belum tahu? Aku melihat Rasulullah saw menjama salat Zuhur dan Asar dan Maghrib dengan Isya’". Kata Abdullah bin Syaqiq, 'Aku ragu kebenaran ucapan Ibnu Abbas itu. Kerana itu aku bertanya kepada Abu Hurairah. Ternyata Abu Hurairah membenarkan ucapan Ibnu Abbas itu".

Berdasarkan hadis-hadis ini dapat disimpulkan bahawa di kalangan para sahabat sendiri telah berlaku perselisihan pendapat sama ada boleh atau tidak menjamakkan solat tanpa musafir. Lihat misalnya Abu Umammah (bertanya kepada Anas bin Malik) dan Abdullah bin Syaqiq (merujuk kepada Abu Hurairah) bagi memastikan kebenarannya. Jika para sahabat Nabi yang terkenal dengan ilmunya masih berselisih pendapat maka tidak hairanlah jikalau kita masih meneruskan tradisi saling berselisih pendapat seperti pada zaman para sahabat. Bukankah sahabat itu seperti bintang-bintang?

Yang pastinya hadis-hadis tentang solat jamak ini bukan sahaja terdapat dalam sahih Bukhari dan Muslim namun terdapat juga dalam kitab-kitab hadis yang lain.




0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home